Kembali ke Sekolah? Mengkaji Kebijakan Belajar Kembali di Sekolah.

Ahmad Gimmy Prathama Siswadi
Continuing Education – Ikatan Psikolog Klinis Indonesia

Pandemi dan kebijakan kembali ke sekolah
Tidak terasa sudah hampir 6 bulan berlalu sejak ditemukannya pasien dengan gejala Covid-19 pertama di Indonesia. Sampai saat ini yang sudah mencapai sekitar 120 ribu orang, terpapar Covid19 dengan penambahan rata-rata per bulannya di Indonesia mungkin sekitar 20 ribu orang. Kalaupun situasinya tidak ada lonjakan tiba-tiba, mudah-mudahan tidak lebih dari 700 orang per hari (saat ini 8 Agustus sudah lebih dari 1000 orang penambahan tiap hari – terduga positif Covid19 di Indonesia) – dan gejala peningkatannya masih akan naik lagi, bahkan, masih waspada gelombang ke-2 di sebagian besar dunia.

Berbagai penetapan zona untuk setiap wilayah yang sedemikian luas di Indonesia juga sudah diberlakukan. Zona hijau (aman), kuning (waspada), dan merah (bahaya). Pewarnaan zona ini kemudian berkembang jadi ada zona hitam, hijau muda, merah kekuning-kuningan, kuning, kelabu, oranye, dan tampaknya akan makin banyak serta kaya warna dengan kriteria yang makin tidak jelas (mungkin kalau bisa semua warna spektrum akan dipakai, supaya makin bingung kita dibuatnya).

Ketika PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dilonggarkan juga, keadaan tersebut dibuat bukan karena situasi semakin baik. Kilah penguasa setempat tentang sudah berkurangnya zona merah jadi merah muda, atau kuning tua misalnya jadi landasan agar ekonomi bisa mulai berjalan lagi. Dunia juga tidak terlepas dari situasi coba-coba seperti ini. Vietnam, negara dengan pengendalian penyebaran Covid19 yang baik di Asia Tenggara, sempat membuka sekolah. Namun, tidak sampai seminggu, kebijakan tersebut ditarik kembali. Kembali belajar di rumah, dan hindari kerumunan di sekolah.

Penyebab dan Solusi – Kembali ke Sekolah ?
Bila kita perhatikan paparan Mas Mendikbud yang banyak beredar dan juga youtube – disiarkan langsung 7 Agustus 2020 lalu lewat jaringan daring Kemendikbud, kendala learning loss, dll., sebetulnya seperti tidak ‘nyambung’ dengan solusi yang berupa kebijakan untuk mengembalikan siswa secara bertahap kembali ke sekolah. Katakanlah misalnya, nambah kuota, program guru berbagi, atau siaran langsung dengan TVRI. Penulis bukannya menganggap solusi tersebut tidak bermanfaat. Kebijakan-kebijakan tersebut sangat berguna, dan bisa mengurangi kendala yang mungkin terjadi selama proses pembelajaran daring. Namun, kembali ke sekolah, tampaknya masih kurang relevan dengan hal tersebut. Program Rumah Belajar atau Sahabat Keluarga – yang juga ada di programnya Kemendikbud (salut untuk penggagas dan pengelola program ini) , mungkin lebih baik untuk dilakukan, asal benar-benar terintegrasi, dan merupakan suatu kesatuan yang dapat menghubungkan antara sekolah, orang tua, kurikulum, dan juga siswa pembelajarnya.

Hal yang paling mungkin untuk mengintegrasikan semua itu adalah penerapan MHPSS (Mental Health Psychosocial Support) dalam program pembelajaran terpadu. MHPSS atau Dukungan Psikososial Kesehatan Mental (untuk Siswa, Keluarga, dan Guru), diharapkan dapat mengatasi kendala belajar dan kesehatan mental yang mungkin dapat menjadi akibat dari pola pembelajaran yang masih kurang terbiasa dilakukan. Kembali ke sekolah dengan risiko munculnya cluster baru penyebaran Covid19 – meski bertahap – di zona kuning (jangan2 kuningnya agak tua, mepet-mepet ke oranye, atau oranye tua) atau hijau (jangan-jangan ini juga hijaunya muda, agak kekuning-kuningan atau kekuningtua-an) sungguh perlu dipertimbangkan masak-masak. Sudah ada cluster baru di kantor, di pusat militer, rumah ibadah (selain pasar yang memang ‘gudang’ nya orang bandel, tempat orang-orang yang unrealistic optimism-nya kuat dan abai pada penyebaran Covid19). Sekarang – apakah masih akan kita tambah dengan sengaja untuk membuat cluster baru di sekolah ?

MHPSS atau DPSKMSKG (Dukungan Psikososial Kesehatan Mental Siswa, Keluarga, dan Guru)
Ikatan Psikolog Klinis Indonesia, berupaya untuk melandaskan pelayanan kesehatan mental yang dialami masyarakat secara umum melalui MHPSS (Mental Health Psychosocial Support) atau DPSKM (Dukungan Psikososial Kesehatan Mental). Kesehatan Mental perlu menjadi inti penanganan masyarakat karena dalam kondisi pandemi, perilaku, kesehatan mental dan situasi psikososial, seringkali menjadi kendala utama dalam pembatasan penyebaran wabah.

Ketidak-patuhan, abai, optimisme yang tidak realistik, bahkan protes, distorsi berfikir serta perilaku menantang/melawan, dasarnya adalah kondisi kesehatan mental individu yang bersangkutan. Dengan penanganan terpadu seperti yang digambarkan dalam piramida MHPSS/DPSKM berikut, hal itu diharapkan akan bisa lebih terintegrasi dan terarah. Siapa yang diharapkan dapat mengendalikannya ? tentu saja pemerintah sebagai penentu kebijakan. Dibantu oleh kekuatan formal dan non-formal yang dapat dikerahkan untuk penanganan/intervensi kesejahteraan/kesehatan mental bersama, penanganannya akan semakin efektif. Berikut adalah gambar/skema intervensi yang dimaksud :


Skema Intervensi – DPSKM (Dukungan Psikososial Kesehatan Mental) – Siswa, Keluarga, Guru

Penerapan DPSKMSKG (Dukungan Psikososial Kesehatan Mental Siswa, Keluarga, dan Guru) sebetulnya dapat diselaraskan dengan slide terakhir powerpoint kemendikbud tentang gorong royong antara orang tua, guru, sekolah, pemerintah, layanan kesehatan, dan masyarakat sipil. Skema di atas dapat membantu mespesifikkan, di mana peran masing-masing pada tiap level intervensi psikososial yang dibutuhkan. Hal ini juga mencakup siapa koordinator-nya, dan siapa saja pendukungnya, serta bagaimana mengkategorikan bantuan untuk tiap level (promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif).

Permasalahan setiap siswa dan keluarga, bahkan guru, tentu berbeda, sehingga penanganan terhadap mereka juga perlu diberikan sesuai dengan kebutuhannya. Psikolog Klinis, Psikiater, dan Perawat jiwa, Dokter dan tenaga kesehatan lainnya, dengan kerja sama lintas profesi bersama Organisasi Guru, Sekolah, atau Ahli pendidikan dan teknologi misalnya, dapat membantu untuk melakukan ‘diagnosis’ yang lebih komprehensif. Apakah siswa dan keluarganya, serta Guru cukup diberikan intervensi level 1, 2, atau harus lebih tinggi lagi. Masing-masing level akan memiliki keunikan intervensi tersendiri, dan hal itu dapat mengefektifkan penanganan/intervensi menjadi lebih optimal.

Memang diperlukan waktu dan keterpaduan lintas profesi serta lintas instansi, yang terarah dan menyeluruh. Mau tidak mau hal itu harus dilakukan. Jadi, sebelum buru-buru mengembalikan ke sekolah, penanganan yang sifatnya terpadu ini perlu dilakukan lebih dahulu. Kegiatan promotif melalui sosialisasi yang efektif dan menyentuh setiap kalangan yang terlibat perlu dilakukan. Minimal, dalam suatu wilayah seperti kecamatan misalnya, dapat dilakukan survey, sosialisasi, dan deteksi keluarga-keluarga mana yang perlu mendapatkan perhatian khusus, dan mana yang dapat dikategorikan lebih tidak berisiko bila dibandingkan dengan siswa atau keluarga lainnya.

Kerja sama dengan koordinator Dasa Wisma, Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), Kelurahan, dan Kecamatan, Puskesmas, organisasi profesi, dan lainnya memang seharusnya bukan jargon lagi. Terapkan, lakukan, dan koordinasikan, baru setelah itu ambil keputusan untuk mengembalikan pembelajaran ke situasi belajar – secara bertahap – di sekolah. Tidak mudah memang, tapi seharusnya bisa, dan sangat mungkin untuk dilakukan. Ini waktunya kita bekerja sama dalam kerangka kerja yang lebih nyata, terarah, dan terpadu.

Referensi
Kemendikbud, (7 agustus 2020), Penyesuaian Kebijakan Pembelajaran di Masa Pandemi Covid-19.
Ikatan Psikolog Klinis Indonesia, (2020), Bimtek Satgas Covid-19.
Taylor, S. (2019). The Psychology of Pandemics, Cambridge Scholars Publishing.