Webinar Pra Kongres Nasional IPK Indonesia Penanganan Medis dan Psikologis Pada Pasien Diabetes

Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia menginisiasi kegiatan Webinar Series, salah satunya adalah webinar ke-5 (lima) dengan tema “Penanganan Medis dan Psikologis Pada Pasien Diabetes”. Webinar ini diselenggarakan sebagai bagian dari Kongres Nasional IPK Indonesia ke-IV yang akan diselenggarakan di Yogyakarta, 27 – 28 November 2021.

Materi webinar ke-5 (lima) ini dibawakan oleh 2 (dua) narasumber. yaitu:

  • Narasumber pertama adalah dr. Mohammad Robhikul Ikhsan, M.Kes, SPPD-KEMD, FINASIM yang merupakan seorang dokter spesialis yang berpraktik di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta.
  • Narasumber kedua adalah Aulia Iskandarsyah, M.Psi., M.Sc., Ph.D yang merupakan seorang psikolog klinis yang berprofesi sebagai dosen di Universitas Padjadjaran, Bandung.

dan dimoderatori oleh Dini Latifatun Nafi’ati, M.Psi., Psikolog, psikolog klinis yang menjalankan praktiknya di RSUD dr. Saiful Anwar, Malang.

Materi yang diberikan adalah sebagai berikut:

1. Narasumber 1 : Tatalaksana Diabetes Melitus dan Permasalahannya
• DM menjadi beban penyakit yang mempengaruhi berbagai sektor. Permasalahan DM menjadi penting karena prevalensi secara global sejak tahun 1980 meningkat lebih dari 4 kali di tahun 2014. DM di Indonesia diketahui berada di urutan ke-5, ini berhubungan dengan tata kelola penanganan medis. Prevalensi DM secara global mengalami peningkatan sebesar hampir 2 kali lipat dalam 3 dekade, dari 4,7% menjadi 8,5% pada populasi orang dewasa (WHO, 2016).
• Survei Riskesdas pada penduduk di atas usia 15 tahun, ada peningkatan dari 6,9% (2013) menjadi 8,5% (2018). Data dari WHO menunjukkan prevalensi DM meningkat lebih cepat di negara berpenghasilan rendah dan menengah, namun masih perlu adanya diskusi bersama mengenai informasi ini. Misalnya, bagaimana akses penduduk terhadap informasi terkait diabetes, akses terhadap pengobatan, atau tata kelolanya.
• Faktor risiko yang dimiliki pasien menjadi beban tersendiri, seperti IMA/stroke 2-4 kali, amputasi ekstremitas bawah 10-15 kali, dan kebutaan 25 kali. Selain itu, 50% penyandang DM diketahui setelah mengalami komplikasi berat (gagal ginjal, dsb). Tujuan awal adalah tegak dari diagnosis. Tingginya gula kadang tidak ditegakkan sebagai DM karena terjadi komplikasi, sehingga perlu penegakkan diagnosis dini.

• DM adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia kronik, yang terjadi karena produksi insulin berkurang (defisiensi insulin), terjadi gangguan kerja insulin (resistensi insulin), atau keduanya
• Pada orang normal, insulin menjadi perantara gula darah dapat masuk ke dalam sel. Sedangkan pada pasien DM, gula darah tidak dapat masuk ke dalam sel karena kurangnya kunci pembukaan (insulin). Jadi, gula menumpuk di dalam darah.
• Pasien yang mengalami resistensi insulin, gangguannya terdapat pada reseptornya. Ini sering terjadi pada sindroma metabolik (kolesterol, diabetes).
• Patofisiologi DM dipengaruhi oleh 11 faktor, tidak hanya karena makanan saja. Sehingga tidak cukup dengan 1 pengobatan saja, perlu berbagai kombinasi dan akan mempengaruhi kepatuhan berobat.
• DM tipe 1 ditandai oleh rusaknya pankreas. DM tipe 2 banyak ditemui di Indonesia karena gaya hidup tidak sehat.

• Gejala dan tanda:
a. Frekuensi buang air kecil meningkat. Terkadang terbangun di malam hari untuk buang air kecil.
b. Mudah lapar (karena defisiensi energi), karena defisiensi gula dalam sel.
c. Mudah haus, karena kekurangan cairan.
d. Penurunan berat badan tanpa penyebab yang jelas. Tubuh mencari alternatif energi dengan memecah lemak dan protein.
• PERKENI mengeluarkan Pedoman Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Dewasa. Berisikan diagnosis, edukasi, tata laksana. Dapat diakses oleh profesi lain dan masyarakat umum agar lebih mudah memahami DM.
• Kriteria diagnosis DM terdapat keluhan klasik, ditambah dengan keluhan lain. Diikuti dengan pemeriksaan laboratorium, gula darah puasa, gula darah dengan meminum cairan gula, gula darah sewaktu, dan pemeriksaan HbA1c.
• Penatalaksanaan DM terdapat tujuan jangka pendek, jangka panjang, dan tujuan akhir. Pilar/langkah-langkahnya yaitu edukasi kepada pasien dan keluarga, terapi gizi medis, latihan fisik, terapi farmakologis, dan monitoring/evaluasi.
✓ Edukasi dilakukan secara kolaborasi oleh tim (dokter, perawan, ahli gizi, psikolog,
apoteker) yang terintegrasi dan komprehensif sesuai dengan latar belakang pasien.
✓ Terapi gizi medis yaitu anjuran makanan sehat yang sama dengan keluarga lainnya, gizi seimbang, dan pengaturan jumlah kalori yang dibutuhkan untuk mengontrol
kadar gula darah. Perhatikan 3J: jadwal, jumlah, jenis.
✓ Latihan jasmani/aktivitas fisik yang terpenting bisa dilakukan setiap hari. Akronim C-R-I-P-E: Continous (berkelanjutan, rutin setiap hari); rhytmis (menggunakan otot-
otot secara bergantian); interval (ada pemanasan dan pendinginan, sehingga tidak ada injury/cedera); progressive (dinaikan, misalnya durasi atau diselingi lari kecil); dan endurance.
✓ Terapi farmakologis, ada beberapa jenis-jenis obat yang perlu diberikan.

• Target pencapaian kendali gula darah HbA1C <7% ini masih kecil, karena 67% pasien belum mencapai target kendali gula darah. Apa saja support pasien bisa mencapai target kendali gula darah, menjadi perhatian akhir-akhir ini.

• DM tipe 2 dapat dicegah dengan mengenali faktor risiko yang dapat dimodifikasi, seperti kelebihan berat badan, obesitas, aktivitas fisik, dan diet yang tidak sehat. Namun, terdapat faktor resiko yang tidak bisa dimodifikasi: ras, riwayat keluarga, umur, riwayat melahirkan, dsb. Faktor risiko yang bisa dimodifikasi, yakni kurangnya aktivitas fisik dan pola hidup yang kurang sehat (hipertensi, kolesterol)
• Pencegahan primer meliputi program penurunan berat badan, diet sehat, latihan jasmani, dan menghentikan merokok.
• Manajemen DM kini telah berpusat pada pasien (patient centred). Langkahnya: meningkatkan keterlibatan pasien (mendapatkan edukasi), menyediakan pilihan terapi yang kompleks dan bisa dicapai, pengambilan keputusan bersama (tidak hanya dengan pasien, tetapi juga melibatkan keluarga), keputusan pilihan gaya hidup, dan dukungan psikososial.
• Tantangan dalam mencapai target yaitu, mulai dari pasien, dokter, serta layanan kesehatan, support system, dan lingkungan yang mendukung.
• Terdapat 3P dari diabetes: poliuria, polidipsia, penurunan berat badan yang sistematis.
• Tim multidisiplin dalam tatalaksana DM, membutuhkan kolaborasi antar profesi dan dukungan psikososial.

2. Narasumber 2 : Penanganan Psikologi Pada Pasien Diabetes
• Alur dari penyakit memiliki perbedaan (illness trajectories), jika cancer memiliki periode waktu yang langsung memburuk, sedangkan diabetes berbeda karena memiliki long term period, dimana ada penurunan-penurunan dan peningkatan terkait daya tahan terkait DM. Mulai turun dari physical activity, lalu penurunan secara maraton, sehingga perlu manajemen diri yang seumur hidup. Oleh karena itu, perlu sekali memahami karakter terjadinya latar belakang DM.
• Hubungan antara psikologi dan kesehatan. Terdapat tiga poin penting/fase seseorang datang ke dokter untuk mencari pertolongan: illness onset (self-diagnose), illness adaptation (saat mendapatkan diagnosis dan bagaimana seseorang harus beradaptasi terkait penyakitnya), dan illness outcome (manajemen diri untuk melanjutkan hidupnya tanpa ada kegawatdaruratan atas penyakit kronisnya).
• DM adalah kondisi kronis yang mempengaruhi seluruh orang di dunia. Tidak hanya berdampak psikologis pada pasien, tetapi juga keluarga/caregiver-nya. Pasien menjalani kehidupan yang menuntut (karena harus patuh terhadap pengobatan dan manajemen diri), terus-menerus menantang dan penuh ketidakpastian. Kemungkinan 2-3 kali mengembangkan depresi dibandingkan dengan orang tanpa diabetes.
• Aspek-aspek yang menjadi beban pasien DM:
✓ Pemantauan konstan terkait dengan kadar gula darahnya secara terus menerus
✓ Penggunaan obat-obatan terkait diabetes secara terus menerus
✓ Ketakutan terjadinya hipoglikemi dan hiperglikemi
✓ Ketakutan komplikasi medis
✓ Komorbiditas psikiatrik
✓ Pilihan makanan terbatas
✓ Kendala perjalanan: adanya keraguan saat perjalanan dan kecemasan saat travelling
✓ Kewajiban latihan fisik rutin: hal ini akan menjadi beban bagi pasien yang tidak terbiasa olahraga

✓ Beban biaya dan keuangan: ada yang tercover dan tidak tercover. Misalnya, diet bisa lebih mahal dibandingkan biaya makan biasa.
✓ Masalah mobilitas: terkait batasan fisik
✓ Interaksi sosial yang berkurang: misalnya, di saat awal-awal adanya penurunan berat badan, maka hal ini menimbulkan masalah pada citra diri atau penampilan
diri.
• Terdapat 7 sumber stres pasien diabetes:
✓ Powerlessness: merasa tidak bisa apa-apa untuk melawan diri sendiri, sehingga muncul perasaan tidak berdaya. Jangan sampai perasan ini berkembang.
✓ Negative social perceptions: perasaan diperlakukan secara buruk, diskriminasi oleh
lingkungan sekitar, dan mendapat penilaian negatif.
✓ Physician distress: adanya laporan dari pasien, yang mengatakan bahwa sebenarnya dokter juga tidak mampu untuk mengobati. Terdapat perasaan bahwa dokter tidak
bisa mengobati, hanya memberikan resep saja.
✓ Friend/family distress: adanya tekanan dari keluarga/teman dan merasa diri sebagai beban keluarga. Misalnya, saat memesan makanan bersama, harus memesan
makanan yang bisa dikonsumsi oleh pasien diabetes.
✓ Hypoglycemia distress: ketakutan adanya penurunan gula darah secara drastis.
✓ Management distress: merasa tertekan karena terus menerus harus mengikuti aturan dokter.
✓ Eating distress: merasa tertekan karena pembatasan makanan yg harus dikonsumsi
sehari-hari
• Pasien diabetes mengalami penurunan kualitas hidup dan mengalami berbagai emosi negatif, seperti marah (misalnya, marah kepada Tuhan), rasa bersalah, rasa khawatir, takut, marah, kelelahan, keputusasaan, frustasi, dsb.
• Kerangka penanganan psikologis penyakit kronis:
✓ Asesmen. Psikolog sebaiknya melakukan skrining.
✓ Dilanjutkan dengan intervensi psikologis, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidup dan usia harapan hidup
• Struktur penanganan psikologis pasien DM:
1. Intake: alasan referral dan membangun good rapport/therapeutic alliance. Pasien DM seringkali berpikiran bahwa penanganan psikologis itu tidak lah penting untuk dilakukan.
2. Assessment: clinical assessment in medical setting. Apakah ada masalah perawatan diri, penerimaan, kepatuhan pengobatan, atau masalah emosional. Kita bisa melakukan pengelompokan beberapa masalah yang melatarbelakanginya. Misalnya, apakah ada masalah dengan kepatuhan atau kualitas hidupnya.
3. Intervention: konseling, CBT, ACT, Motivational Interviewing.
4. Evaluation: evaluasi hasil intervensinya apa variabel outcome-nya dan rencana lanjutan penanganan psikologis pasien. Para psikolog seringkali memiliki kelemahan dalam evaluasi, maka kita memerlukan evidence based intervention.

• Evidence based intervention:
1. CBT, intinya mengubah pola pikir pasien.
2. Acceptance and Commitment Therapy (ACT), pendekatannya tidak melakukan konfrontasi dan mengulik isi pikirannya, tetapi lebih berfokus kepada penerimaannya bahwa pasien menerima dan apa lanjutannya yang dapat dilakukan.
3. Motivational Interviewing, pendekatannya konseling independen namun berfokus kepada motivasi internal pasien untuk menciptakan perilaku sehat terkait DM, dan akhirnya mau patuh pada anjuran minum obat.
• Pandemi berdampak pada: meningkatnya kecemasan dan distress terkait pandemi, pembatasan aktivitas dan ruang sosial, keterbatasan akses pada fasilitas kesehatan, manajemen penyakit terganggu (adanya pandemi dengan varian DELTA yang baru ini memberikan kecemasan tersendiri terkait pasien DM). Future direction diperlukan oleh pasien DM, terkait kebijaksanaan dengan kebutuhan fasilitas telemedicine dan telekonseling. Kemudian hal ini perlu diperluas dan diafirmasi, sehingga dapat membantu untuk meningkatkan kualitas hidupnya.

3. Penutup
• Perlu pendekatan multidisipliner serta manajemen stress antara dokter dan psikolog di RS. Harapannya, kolaborasi dokter dengan psikolog klinis dapat terus berkembang untuk melayani pasien dengan penyakit kronik
• Peran psikolog klinis dalam penanganan DM dilakukan sejak intake assessment, intervensi hingga evaluasi, agar membantu pasien untuk berproses berdamai dengan DM sehingga pasien mendapatkan kualitas hidup yang baik.

Tentang Ikatan Psikolog Klinis Indonesia
Ikatan Psikolog Klinis (IPK) indonesia adalah Organisasi Profesi yang mewadahi Tenaga Psikologi Klinis dan telah berbadan hukum melalui Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-0014545.AH.01.07.TAHUN 2017 sebagai amanah dari UU Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.

IPK lndonesia berada di bawah naungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, dan bekerja antara lain di Rumah Sakit Jiwa, Rumah Sakit Umum Pusat, Rumah Sakit Umum Daerah, Puskesmas, Rumah Sakit Khusus, Rumah Sakit Swasta, berbagai lembaga dan instansi baik negeri maupun swasta , dosen, LSM dan berpraktik pribadi. Saat ini, Ikatan Psikolog Klinis Indonesia memiliki total anggota 3.382 yang tersebar di 34 wilayah di Indonesia.

Dokumen lengkap press release dapat diunduh di :
2021_11_Press_Release_Webinar_Pra_Konas_IV_IPK_Indonesia_Penanganan_Medis_dan_Psikologis_Pada_Pasien_Diabetes

Tulisan Terkait