Sikap dan Aspirasi IPK Indonesia Terhadap RUU Pendidikan dan Layanan Psikologi

Sikap dan aspirasi IPK Indonesia terhadap RUU Pendidikan dan Layanan Psikologi (RUU PLP)  disampaikan oleh perwakilan IPK Indonesia Wilayah Jawa Tengah dan IPK Indonesia Wilayah Sulawesi Selatan pada uji publik RUU PLP.

Uji publik RUU PLP yang diselenggarakan oleh Panja RUU PLP Komisi X DPR di Surakarta dan Makasar pada tanggal 27 Mei 2022 bertujuan untuk menyerap aspirasi masyarakat dari berbagai pihak terhadap RUU PLP yang akan disahkan.

Catatan IPK Indonesia untuk RUU Pendidikan dan Layanan Psikologi:

  1. Draft RUU PLP dalam pertimbangannya tidak selaras dengan peraturan perundangan terkait psikolog klinis sebagai tenaga kesehatan yang telah ada sebelumnya, yaitu UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dan turunannya termasuk Peraturan Menteri Kesehatan No. 45 Tahun 2017 tentang izin dan penyelenggaraan praktik psikolog klinis.
  2. Draft RUU PLP pasal 1 ayat 6 menyebutkan bahwa Surat Tanda Registrasi (STR) merangkap sebagai surat izin praktik. Surat Tanda Registrasi dan Surat Izin Praktik (SIP) memiliki tujuan dan fungsi yang berbeda. Registrasi dimaksudkan sebagai pencatatan terhadap anggota suatu profesi yang memang diserahi tanggung jawab sebagai profesional di bidangnya. Sementara itu. Surat Izin Praktik dimaksudkan untuk melindungi kepentingan publik dari praktik-praktik yang tidak bertanggung jawab, sehingga perlu adanya law enforcement yang wewenangnya hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah. Negara hadir untuk melindungi warga negaranya. Suatu perizinan juga perlu memiliki persyaratan tertentu yang mutlak dipenuhi. Oleh karena itulah maka seharusnya perizinan diterbitkan oleh Pemerintah bukan oleh Organisasi Profesi.
  3. Draft RUU PLP terdapat istilah induk organisasi profesi yang merupakan istilah di luar kelaziman. Pengaturan terkait profesi seharusnya diatur oleh organisasi profesi yang memiliki satu profesi sejenis (homogen) bukan heterogen atau berupa induk organisasi profesi yang terdiri dari berbagai organisasi profesi.
  4. Draft RUU PLP Pasal 1 terkait pendidikan profesi sebaiknya disesuaikan dengan UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yaitu pendidikan profesi diselenggarakan oleh perguruan tinggi bekerja sama dengan kementerian, LPNK dan/ atau Organisasi Profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi.
  5. Draft RUU PLP pasal 9 ayat 1 terkait pendidikan profesi; pasal 13 ayat 4 terkait uji kompetensi; pasal 15 ayat 2 terkait penerbitan STR; pasal 23 terkait penyusunan kewenangan psikolog; pasal 26 ayat 3 tentang standar layanan; pasal 34 ayat 2 tentang pembinaan dan pengawasan menunjukkan bahwa oleh induk organisasi profesi yang sesungguhnya di dalamnya bersifat pluralis, draft tersebut ingin diatur secara single-bar yang akan berpotensi mengalami konflik dan dapat berbenturan dengan peraturan perundangan lainnya, khususnya tentang kesehatan.
  6. Pengecualian Psikolog Klinis tidak hanya dalam penerbitan STR dan SIP tetapi seharusnya juga terkait pendidikan, standar layanan yang mengikuti ketentuan peraturan perundangan kesehatan. Oleh karena itu sebaiknya pengecualian Psikolog Klinis menjadi pasal tersendiri dalam RUU.

ruu pendidikan dan layanan psikologi

Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia meminta pengaturan psikolog klinis dikecualikan dari RUU Pendidikan dan Layanan Psikologi (RUU PLP),  agar tidak terjadi kerancuan hukum dan tumpang tindih peraturan. Kerancuan hukum dapat menimbulkan kebingungan serta konflik kepentingan yang akan sangat merugikan psikolog klinis dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Berikut ini 4 pokok sikap dan aspirasi IPK Indonesia terkait RUU Pendidikan dan Layanan Psikologi:

  1. Pengaturan psikolog klinis dalam pendidikan, layanan dan organisasi profesi harus dikecualikan dalam pengaturan RUU Pendidikan dan Layanan Psikologi (atau merujuk RUU yang sama meski berbeda nama), karena sebagai tenaga kesehatan, psikolog klinis harus mengikuti peraturan perundangan-undangan rumpun kesehatan yang sudah ada sebelumnya.
  2. STRPK (Surat Tanda Registrasi Psikolog Klinis) dan SIPPK (Surat Ijin Praktik Psikolog Klinis) saat ini sudah diatur dan dikeluarkan oleh negara. IPK Indonesia menolak dipaksa harus mengikuti gagasan bahwa STR/SIP dikeluarkan OP/Ormas/Himpunan.
  3. Sebagai Organisasi Profesi mandiri dan berbadan hukum, IPK Indonesia menolak berada di bawah organisasi lain (himpunan, Ormas, OP lain) untuk menghindari potensi terjadinya konflik kepentingan, kebingungan, dan ketidakpastian hukum dalam praktik layanan psikologi klinis di masyarakat.
  4. Pendidikan profesi psikolog klinis sebagai tenaga kesehatan merujuk kepada UU No. 12 tahun 2012 yang perlu diselaraskan dengan KKNI bagi Psikolog Klinis yaitu di level 8 (Ahli) yang dalam hal ini juga merujuk kepada UU No. 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. Pengaturan pendidikan profesi psikolog klinis perlu dikecualikan dari RUU PLP agar dapat memenuhi kebutuhan tenaga psikologi klinis di masyarakat.

Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia sebagai Organisasi Profesi Tenaga Psikologi Klinis Indonesia terus konsisten memperjuangkan kesejahteraan psikolog klinis di seluruh Indonesia serta berkomitmen meningkatkan derajat kesehatan psikologis seluruh rakyat Indonesia.

Tulisan Terkait